Saturday, April 13, 2013

Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA


 

BUKU

Sardiman. 2006. Sejarah 3 SMA Kelas XII Progam Ilmu Sosial. Jakarta: Quadra.
Alfian, Magdalia, dkk. 2006. Sejarah untuk SMA dan MA kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Esis.
Sukmayani, Ratna, dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial 3 Untuk SMP/MTs Kelas IX. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: PT Balai Pustaka.

Media internet



BAB III. Penutup

PENUTUP



3.1. Kesimpulan


Jika dilihat dari kelebihan dan kekurangan segi politik dan ekonomi Indonesia pada masa parlementer maupun terpimpin, Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan dari kedua masa dapat terlihat dari dampak yang ditimbulkan dengan berubahnya sistem pemerintahan, seperti pemberontakan-pemberontakan maupun demonstrasi yang dilakukan rakyat.


3.2. Saran

Setiap langkah yang dipilih pemerintah haruslah ditujukan demi memajukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan satu kelompok atau golongan saja, karena pemerintah dibentuk oleh rakyat, untuk rakyat, dan kepada rakyat.






Bab II. Isi

PEMBAHASAN

2.1. Demokrasi Parlementer (Demokrasi Liberal)

Tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 6 Juli 1959 merupakan era dimana presiden Soekarno memerintah Negara Republik Indonesia Serikat dan memberlakukan sistem Demokrasi Parlementer atau yang sering disebut dengan Demokrasi Liberal merupakan demokrasi yang menganut kebebasan. Presiden Soekarno juga memerintah dengan menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Berdasarkan UUD tersebut, pemerintahan yang dilakukan kabinet sifatnya parlementer yang berarti bertanggung jawab pada parlementer. Ciri ciri pemerintahan parlemen yaitu dikepalai oleh seorang perdana menteri sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja, kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang, perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen, menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya berfungsi sebagai ‘lambang’. Pada umumnya, rakyat menolak RIS (Republik Indonesia Serikat), sehingga Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950. Masa Demokrasi Parlementer ditandai dengan adanya tujuh kabinet yang berbeda dalam kurun waktu sepuluh tahun (1950-1959). Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen (mendapat mosi percaya). 
Kabinet-kabinet yang pernah memerintah pada masa Demokrasi Parlementer di Indonesia adalah Kabinet Natsir, Kabinet Soekiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamijojo I, Kabinet Burhanudin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan Kabinet Djuanda. Selama sembilan tahun terdapat tujuh kabinet, dan rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun saja. Kinerja kabinet sering mengalami deadlock dan ditentang oleh parlemen karena adanya kelompok oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan negara. Sering bergantinya kabinet menjadi ciri utama dari masa Demokrasi Liberal dan juga merupakan penyebab instabilitas politik. Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan, parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan kabinet lain lebih tertuju untuk merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan masyarakat. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan parlemen. Karena selalu terjadi pergantian kabinet, hal ini mengakibatkan pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Rakyat pun mengalami kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian yang menimbulkan ketidakstabilan sosial-ekonomi.
Kehidupan politik di masa demokrasi parlementer ditandai dengan gagalnya konstituante dalam membuat undang-undang baru bagi Indonesia. Padahal konstituante sendiri adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk membentuk UUD. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai gerakan-gerakan yang mengancam ketertiban dan stabilitas keamanan Indonesia. Pada tanggal 20 November 1956, konstituante menetapkan untuk bersidang untuk pertama kalinya. Soekarno memberikan kewenangan untuk menyusun dan menetapkan UUD Republik Indonesia tanpa batas masa kerja. Semangat untuk bersatu dan merumuskan UUD Indonesia ini berubah menjadi perasaan saling mementingkan kepentingan kelompok sendiri. Selain itu, ada rintangan lain yang dihadapi konsituante, yaitu usulan dari kalangan kelompok Islam untuk memasukkan kembali butir Piagam Jakarta yang menyatakan "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" di dalam preambule dari UUD 1945, terjadi pada tanggal 29 Mei 1959. Jumlah anggota konsituante yang hadir mencapai 466 suara, dan demi mencapai persetujuan untuk menyetujui usulan kalangan kelompok Islam, jumlah suara yang setuju harus 2/3 dari total seluruh anggota yang hadir. 201 suara menyatakan setuju, sedangkan 265 suara menolaknya, sehingga tidak tercapai kuorum yang seharusnya. Pada 30 Mei 1959, diadakan sidang untuk membahas usulan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 tanpa perubahan dan hasilnya tidak tercapai keputusan yang mufakat. Jadi dilakukan proses pemungutan suara (voting), tetapi tetap saja tidak mencapai kuorum karena 269 suara setuju dan 199 suara menolak dari total 474 orang yang hadir. Pemungutan suara kembali diadakan pada 2 Juni 1959, tetapi tetap tidak memenuhi kuorum. Pada akhirnya, tanggal 3 Juni 1959, konstituante memutuskan untuk melaksanakan reses.
Faktor utama kegagalan konstituante adalah terdapat sikap mementingkan kepentingan golongan atau partai politik yang berada di dalam konstituante. Pada saat itu, ada tiga poros kekuatan partai politik utama, yaitu kekuatan partai Islam, kekuatan partai Nasionalis, dan kekuatan partai Komunis. Ketiganya tidak terdapat konsensus yang baik untuk merancang UUD sehingga selalu gagal. Terdapat pula berbagai peristiwa politik pada konflik kepentingan masing-masing kelompok politik di dalam tubuh konstituante. Seperti, konflik antara NU, PNI, dan PKI tentang pemberlakuan kembali UUD 1945 dan penyertaan butir Piagam Jakarta di dalam UUD 1945. Permasalahan itu juga diperkuat dengan adanya pengerahan massa untuk berdemonstrasi dan turun ke jalan dalam memperjuangkan isu dan kepentingannya masing-masing.
Setelah negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat memberlakukan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang selalu silih berganti telah dialami rakyat Indonesia selama sepuluh tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak sesuai dengan negara Indonesia, karena tidak menjiwai Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menyatakan bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta menghalangi pencapaian tujuan masyarakat adil dan makmur, sehingga diumumkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri masa parlementer, digunakan kembalinya UUD 1945, pembubaran konstituante, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

 2.2. Demokrasi Terpimpin

    Sistem demokrasi terpimpin berjalan dari tahun 1959 sampai 1966. Dalam sistem demokrasi ini seluruh kebijakan dan pemikiran selalu berpusat pada pemimpin negara di mana kala itu pemimpin negara Indonesia adalah Soekarno Hatta. Ciri-ciri dari sistem demokrasi terpimpin antara lain sebagai berikut :
  • Dominasi pemimpin negara, Presiden Soekarno berperan besar terhadap penyelanggaraan pemerintahan 
  • Terbatasnya peran partai politik  
  • Meluasnya peran militer sebagai unsur politik
  • Berkembangnya pengaruh partai komunis Indonesia  
Sejak semula, pembentuk-pembentuk UUDS 1950 menyebutkan bahwa undang-undang tersebut masih bersifat sementara. Hal ini sudah ditegaskan dalam pasal 134 bahwa, “Konstituante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Sementara ini.” Namun badan konstituante yang telah diberi tanggung jawab ini tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik sehinga keadaan ini memancing berkembangnya persaingan politik yang membawa akibat luas dalam berbagai tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Sedangkan dilihat dari segi ekonomi, sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal yang menyebabkan program-program yang telah dirancang oleh kabinet tidak dapat dilaksanakan secara utuh sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Selain itu dari segi keamanan nasional pun banyak gerakan separatis pada masa demokrasi liberal yang menyebabkan ketidakstabilan negara. Situasi gawat ini memicu presiden untuk mengajukan sebuah konsep baru mengenai sistem demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsep ini disampaikan di depan sidang pleno DPR hasil pemilu tahun 1955.

Setelah itu timbullah perdebatan-perdebatan antara pihak pro dan kontra yang sama sekali tidak membuahkan sebuah keputusan yang penting sementara kondisi negara sudah semakin gawat dan tidak terkendali yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Melihat keadaan tersebut, akhirnya diadakan pemungutan suara oleh semua anggota konstituante yang hasilnya menunjukkan bahwa 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945 sedangkan sisanya yaitu 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945. Hasil suara ini tidak dapat mewujudkan usulan Presiden Soekarno tersebut karena anggota-anggota konstituante yang setuju untuk kembali ke UUD 1945 tidak mencapai 2/3 bagian seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Hal ini membuat Presiden Soekarno menggunakan wewenangnya yakni dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang berisi: 
  • Pembubaran badan konstituante
  • Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950  
  • Pembentukan MPR dan DPA sementara
        
                Bedasarkan dengan UUDS 1950, pembentukkan anggota-anggota konstituante harus diperoleh melalui pemilu (pemilihan umum). Pemilu yang beranggotakan anggota konstituante itu baru dapat dimulai pada bulan Desember 1955. Tepat pada tanggal 10 November 1956, sidang pertama konstituante dibuka oleh Presiden Soekarno di Bandung dan saat itulah Presiden Soekarno pertama kali memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin. Rakyat dan pemerintah sangat berharap agar konsitituante dapat berhasil membentuk UUD baru dengan segera sehingga dapat mengubah tatanan kehidupan politik negara Indonesia yang sering dinilai kurang baik.

2.3. Perbandingan antara Demokrasi  Parlementer dengan Terpimpin
2.3.1. Kehidupan Politik Indonesia di Masa Demokrasi Parlementer

Pada masa Demokrasi Parlementer, peran partai politik sangat menonjol yang ditandai dengan munculnya partai-partai politik baru yang memberi pengaruh terhadap kehidupan politik dan pemerintahan negara Indonesia. Partai-partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU, PKI, PSI, Murba, PSII, Partindo, Parkindo, dan Partai Katolik. Hal ini dapat dilihat semakin nyata saat Republik Indonesia Serikat (RIS) diubah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Undang-Undang RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Moh. Hatta yang sebelumnya menjadi perdana menteri RIS, mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno di Jakarta, sehingga Moh. Hatta kembali menjadi wakil presiden.
Setelah perubahan bentuk negara Indonesia yang menjadi bentuk NKRI ini, bangsa Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer yang diselenggarakan berdasarkan UUD sementara 1950.  Pemerintahan diselenggarakan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Pemerintahan ini mempertanggung jawabkan hasil kerjanya pada parlemen sehingga disebut Sistem Kabinet Parlementer. Sedangkan anggota-anggota parlemen berasal dari perwakilan berbagai partai politik yang ada pada saat itu dan beberapa adalah kelompok non-partai. Para anggota ini ditentukan dari hasil kompromi dan KMB.
Indonesia dibagi menjadi sepuluh provinsi yang berguna untuk memudahkan sistem pemerintahan. Dalam sistem kabinet parlementer setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dalam parlementer (DPR pusat). Presiden hanya menduduki posisi sebagai kepala negara dan tidak bertanggung jawab atas pemerintahan karena tanggung jawab ini berada pada kabinet di bawah pimpinan perdana menteri. Lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, MA, BPK bebas dari campur tangan kabinet.
Pada masa demokrasi Parlementer ini, partai-partai politik memberi pengaruh besar terhadap kehidupan politik Indonesia. Sementara kabinet berada pada kedudukan yang tidak kuat sehingga sering mengalami jatuh bangun karena di antara partai-partai ini tidak ada rasa saling percaya. Kemudian terjadilah fase instabilitas (ketidak stabilan) dalam bidang politik pemerintahan. Sebagai bukti dapat dilihat dari pergantian kabinet dalam waktu yang relatif singkat, dari tahun 1950-1959.   
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)

Kabinet Natsir adalah kabinet pertama Indonesia yang diketuai oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir. Program kerja kabinet Natsir ini sebagai berikut :    
  • Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat 
  • Meningkatkan keamanan dan ketertiban  
  • Menguatkan konsolidasi, penyempurnaan susunan pemerintahan
  • Penyempurnaan angkatan perang
  • Memperjuangkan masalah Irian Barat 
  • Memusatkan perhatian pada ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional
 Ada beberapa keberhasilan yang dicapai dalam masa kabinet Natsir yang perlu dicatat yaitu pemetaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB. Selain itu juga kehidupan ekonomi pada masa ini cukup lumayan yang disebabkan karena perang Korea yang berakibat hasil produksi Indonesia terutama karet mendapat pasaran yang baik. Hubungan kabinet dan pimpinan militer pun juga berlangsung baik karena Simatupang (KSAP) dan Nasution (KSAD) termasuk golongan administrator.
Namun terjadi kegagalan-kegagalan yang dialami pada masa kabinet Natsir ini. Palang pertama telah dipasang oleh parlemen ketika pemerintah mengeluarkan UU darurat tentang pajak penghasilan perusahaan, UU darurat ini memang memberi keuntungan terhadap pemerintah, namun banyak anggota parlemen menyatakan bahwa UU itu menakutkan para penanam modal untuk mendirikan usaha di Indonesia. Selain itu pada masa kabinet Natsir, terjadi kegagalan dalam perundingan dengan Belanda tentang masalah Irian Barat yang mengakibatkan munculnya mosi tidak percaya pada kabinet Natsir di parlemen. Kegagalan-kegagalan ini membuat kabinet Natsir jatuh pada Maret tahun 1951.    
2. Kabinet Sukiman (26 April 1951 – 23 Februari 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk Sartono (ketua parlemen PNI) menjadi formatur. Sartono berusaha untuk membentuk sebuah kabinet namun ia gagal dan mengembalikan mandat kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (26 Maret-18 April 1951). Akhirnya presiden menunjuk Sukiman dan Sidik Joyosukarto (PNI) menjadi formatur. Berikut adalah program kerja dari Kabinet Sukiman:
  • Penerapan tindakan tegas untuk menjada keamanan dan ketertiban
  • Memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperbaharui hukum agrarian untuk kesejahteraan petani
  • Mempersiapkan segala usaha untuk pemilu
  • Memperjuangkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia
Ada beberapa keberhasilan yang diperoleh pada masa kabinet Sukiman yaitu kabinet Sukiman memerhatikan usaha memajukan perusahaan kecil serta memerhatikan kaum buruh dan memperluas pendidikannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah dan tingkatnya.Namun pada masa kabinet ini, kondisi keamanan negara belum stabil dan adanya perseturuan antar berbagai elemen politik yang membuat hasil kerja kabinet ini belum maksimal. Untuk kepentingan penanganan masalah keamanan dalam negeri, Indonesia menandatangani persetujuan bantuan ekonomi dan pesenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act tanggal 15 Januari 1952 oleh menteri luar negeri Indonesia, Achmad Subarjo dengan duta besar Amerika Serikat, Merle Cochran. Persetujuan ini menimbulkan penafsiran bahwa Indonesia telah memihak blok barat yang tidak sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Akhirnya muncullah kritik dari berbagai golongan dan mosi tidak percaya. Pada tanggal 23 Februari 1952, Sukiman mengembalikan mandatnya kepada presiden.
3. Kabinet Wilopo (19 Maret 1952 – 2 Juni 1953)



Personalia kabinet Wilopo ini terdiri dari tokoh-tokoh muda yang pandangannya sesuai dengan pandangan golongan administrator. Adapun program kerja kabinet Wilopo sebagai berikut :

  • Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu
  • Meningkatkan taraf kemakmuran, pendidikan, dan keamanan rakyat
  • Berusaha menyelesaikan masalah Irian Barat, memperbaiki hubungan dengan Belanda, dan konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif

Beberapa hal yang perlu dicatat adalah pada masa kabinet Wilopo, terjadi peningkatan hasil tambang minyak yang menguntungkan sehingga bisa mengimbangi kemerosotan ekspor hasil bumi, meluasnya korupsi dan kemewahan pun dibatasi.
Dalam menjalankan tugasnya, muncul beberapa hambatan yang harus dihadapi pada masa kabinet Wilopo antara lain, munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah, adanya konflik di tubuh angkatan darat yang mengakibatkan terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa tersebut memberi pengaruh terhadap perkembangan ekonomi, reorganisasi atau profesionalisasi tentara, dan campur tangan parlemen atas persoalan-persoalan militer. Hambatan lainnya adalah peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara. Dengan adanya hambatan tersebut, kabinet ini melahirkan mosi tidak percaya dari kelompok oposisi pemerintah bernama Sarekat Tani Indonesia dan diakhiri dengan pengembalian mandat oleh Wilopo pada tanggal 2 Juni 1953. 
 4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1952 – 24 Juli 1955)



Tepat pada tanggal 31 Juli 1952, akhirnya berhasil dibentuk sebuah kabinet yang diketuai oleh Ali Sastroamidjojo dan diwakili oleh Mr. Wongsonegoro. Oleh karena itu, kabinet ini sering disebut kabinet Ali-Wongso atau kabinet Ali Sastroamidjojo I. Berikut adalah program kerja dari kabinet ini :
  • Meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan segera melaksanakan pemilu yang rencananya akan diadakan pada pertengahan tahun 1955
  • Pembebasan Irian Barat secepatnya
  • Melaksanakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan turut berperan dalam menciptakan perdamaian dunia 
  • Mengatasi gangguan keamanan dan pemberontakan di daerah

Beberapa keberhasilan yang diraih pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I ini antara lain yaitu telah disusunnya kerangka panitia pelaksanaan pemilu, membaiknya hubungan Indonesia dengan Cina, dan suksesnya pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang melahirkan Dasa Sila Bandung.
Di samping keberhasilan-keberhasilan di atas, ternyata terjadi kekacauan akibat operasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di bawah Dauh Beureueh yang menyatakan sebagai bagian dari DI/TII. Peningkatan kemakmuran pun dapat dikatakan gagal, inflasi maju, tindakan korupsi meluas, skandal pembagian lisensi istimewa (untuk mengimpor barang) sudah menjadi rahasia umum, dan peristiwa 17 Oktober. Selain itu juga terjadi kegagalan dalam perjuangan Irian Barat, muncul pemberontakan di berbagai daerah, dan masih berlanjutnya konflik di tubuh angkatan darat, yaitu dengan mundurnya A. H. Nasution yang digantikan oleh Bambang Sugeng.
 5. Kabinet Burhanuddin Harahap (11 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet ini dibentuk pada tanggal 11 Agustus 1955. Wakil presiden menegaskan agar kabinet ini lebih fokus memperhatikan pemulihan kepercayaan rakyat dan tentara kepada pemerintah dan melaksanakan pemilu seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Program kerja dari kabinet ini yaitu :
  • Memerintahkan Polisi Militer untuk menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas kasus korupsi di departemen kehakiman
  • Melaksanakan pemilu secara baik, maksimal, dan secepat mungkin
  • Mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD pada 28 Oktober 1955

Sesuai dengan rencananya, akhirnya pemilu dapat berhasil diadakan pada tanggal 29 September untuk pemilihan anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember untuk pemilihan anggota konstituante. Selain itu kabinet juga berhasil mengembalikan A.H. Nasution kembali menduduki jabatan KSAD, dan berhasil menentukan sistem parlemen Indonesia.
Pada perundingan bulan Desember 1955 dan Februari 1956, pemerintah Indonesia tidak berhasil membujuk Belanda untuk membatalkan Uni Indonesia Belanda dan juga gagal dalam upaya pengembalian Irian Barat. Sehingga secara sepihak Indonesia pada tanggal 13 Februari 1956 menyatakan pembubaran Uni Indonesia Belanda. Parlemen menerima UU tersebut, namun presiden Soekarno tidak mau menandatangani karena pembatalan ini harus didukung oleh semua anggota parlemen hasil pemilu. Ini pukulan berat terhadap kabinet Burhanuddin Harahap. Akhirnya pada tanggal 3 Maret 1956, Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Setelah Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya, presiden Soekarno menunjuk Ali Sastroamidjojo sebagai formatur dan akhirnya berhasil membentuk sebuah kabinet. Kabinet ini memiliki program kerja sebagai berikut :
  • Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB)
  • Memperjuangkan masuknya Irian Barat ke Indonesia
  • Meningkatkan kesejahteraan kaum butuh dan pegawai negeri serta menyehatkan dan menyeimbangkan anggaran belanja dan keuangan negara
  • Mengganti sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional
  • Melaksanakan keputusan KAA

Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II, ada beberapa hal yang terjadi yaitu ditandatanganinya UU pembatalan KMB oleh presiden Soekarno, beralihnya perusahaan Belanda menjadi milik warga Tionghua, dan kepentingan Belanda diberlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kehidupan ekonomi pun tidak bertumbuh pada masa ini. Hal ini memicu munculnya protes-protes ketidakpuasan terhadap pemerintah. Ketidakpuasan daerah juga dapat dilihat dari banyaknya tokoh-tokoh luar yang melakukan protes kepada pemerintahan pusat. Hal ini mendorong lahirnya gerakan separatisme.
Presiden Soekarno tidak puas dengan kerja kabinet, sehingga ia mengungkapkan gagasannya mengenai Demokrasi Terpimpin. Moh. Hatta yang tidak sependapat akhirnya mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada tanggal 1 Desember 1956.
Situasi politik Indonesia mulai tidak stabil. Menurut Presiden Soekarno ketidakstabilan ini disebabkan karena ada banyaknya partai. Oleh karena itu untuk mengendalikannya, Presiden Soekarno mengemukakan gagasannya mengenai Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957 di Istana Merdeka yang berisi :
  • Pembentukan Kabinet Gotong Royong
  • Pembentukan Dewan Nasional yang bertujuan untuk memberi nasehat kepada kabinet.

Konsepsi Presiden ini mendapat banyak pertentangan dari berbagai partai. Mereka menganggap perubahan susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada Konstituante. Akhirnya timbul banyak gerakan separatis seperti Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Dewan Manguni. Situasi semakin memanas, Soekarno justru mengumumkan keadaan darurat perang bagi seluruh wilayah Indonesia. Pada akhirnya pada tanggal 14 Maret 1957, Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
7. Kabinet Djuanda/ Karya (9 April 1957 – 10 Juli 1959)



Kabinet ini kurang mendapat dukungan dari berbagai partai politik karena kabinet Djuanda ini tidak menggunakan partai politik sebagai basis utama, melainkan para ahli. Selain itu ada beberapa tokoh partai yang menjadi anggota namun bukan sebagai perwakilan partai.
Adapun program kerja Kabinet Djuanda sebagai berikut:
  • Pembentukan dewan nasional
  • Normalisasi keadaan Republik
  • Memperjuangkan lancarnya pelaksanaan pembatalan hasil KMB
  • Memperjuangkan kembali Irian Barat ke wilayah Indonesia
  • Mempercepat dan mengintensikan program pembangunan

Beberapa keberhasilan yang dicapai pada masa kabinet Djuanda, yaitu :
  • Pembersihan pejabat-pejabat yang melakukan korupsi
  • Dilaksanakannya konsolidasi dengan daerah-daerah yang melakukan pemberontakan dengan tujuan agar dapat menormalisasi keamanan negara
  • Ditetapkannya peraturan kelautan yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Hal ini merupakan bukti keberhasilan diplomasi Indonesia dalam memperjuangkan wilayah territorial laut Indonesia
  • Dibentuknya dewan nasional untuk menampung aspirasi rakyat yang tergabung dalam nonpartai

Peran Presiden Soekarno semakin nyata dalam kabinet ini, Ia menjadi ketua dewan nasional yang berhasil didirikan bulan Mei 1957. Padahal menurut UUDS pejabat-pejabat pada alat kelengkapan negara tidak boleh memiliki jabatan rangkap. Sehingga muncul banyak sikap dari daerah yang menentang Presiden Soekarno. Situasi politik pada masa itu semakin memanas, bahkan ada kasus pencobaan pembunuhan Presiden Soekarno yang gagal. Berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah bentuk gerakan separatisme yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap pemerintah.

2.3.2. Kegagalan Konstituante dalam Menyusun UU Baru dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Konstituante adalah lembaga yang didirikan untuk membentuk UUD (baru). Namun pada masa demokrasi parlementer, konstituante ini gagal dalam menyusun undang-undang baru tersebut selama kurun waktu 1956-1959. Situasi politik Indonesia dalam rentang waktu tersebut semakin tidak menentu. Partai-partai pemenang pemilu tahun 1955 (PNI, Masyumi, NU, PKI) pun tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Ditambah lagi munculnya gerakan-gerakan separatism yang mengancam ketertiban dan stabilitas keamanan Indonesia. Melihat situasi tersebut, dibentuklah konstituante yang bertugas untuk membuat undang-undang baru.
Di tengah-tengah kehidupan politik yang tidak stabil dan kefrustasian nasional yang meningkat itu, pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno berpidato di depan sidang konstituante yang berisi penganjuran dalam rangka demokrasi terpimpin, konstituante menetapkan UUD 1945 kembali menjadi UUD Republik Indonesia. Konstituante pun mengadakan sidang dengan topik tersebut pada tanggal 30 Mei 1959.
Musyawarah mufakat tidak membuahkan hasil sehingga dilakukan proses pemungutan suata. Hasil pemungutan suara anggota konstituante yang hadir ini adalah 269 suara setuju dan 199 suara tidak setuju. Hasil tersebut tidak mencapai kuorum yang seharusnya yaitu 2/3 dari jumlah seluruh anggota konstituante yang hadir. Kebuntuan konstituante ini memaksa untuk mengulang pengambilan suara pada tanggal 2 Juni 1959. Namun hasil pada tanggal tersebut juga tidak memenuhi kuorum. Akhirnya tanggal 3 Juni 1959, konstituante memutuskan untuk melaksanakan reses.
Faktor utama penyebab kegagalan ini adalah terdapatnya sikap mementingkan golongan atau partai politik yang berada dalam konstituante. Ini dikarenakan terdapat berbagai peristiwa politik yang merembet pada konflik kepentingan masing-masing kelompok politik di tubuh konstituante. Permasalahan itu diperbuat dengan adanya pergerakan massa untuk berdemonstrasi dan turun ke jalan dalam memperjuangkan isu dan kepentingannya masing-masing.
Kehidupan politik semakin buruk dan mengancam persatuan dan kesatuan negara. Di daerah-daerah terjadi pemberontakan merebut kekuasaan, partai-partai yang mempunyai kekuasaan tidak mampu mengatasi persoalan tersebut. Akhirnya Presiden Soekarno dan TNI tampil untuk mengatasi krisis tersebut dengan menggunakan wewenangnya untuk mengeluarkan Dekrit Presiden yang betujuan untuk kembali ke UUD 1945.
Berikut adalah pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden :
  • Anjuran untuk kembali ke UUD 1945 tidak memperoleh keputusan dari konstituante
  • Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena sebagian besar anggotanya sudah menolak untuk menghadiri sidang lagi
  • Kemelut dalam konstituante membahayakan persatuan, mengancam keselamatan negara, dan merintangi pembangunan nasional
Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membuat keputusan (dekrit) yang dikenal dengan “Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. Isi dari dekrit tersebut adalah :
  • Pembubaran Konstituante
  • Berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
  • Akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)

       Pemberlakuan dekrit ini merupakan momen pergantian sistem demokrasi Indonesia dari Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin. 

2.3.3. Kehidupan Politik Indonesia di Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dibentuk beberapa alat negara, yaitu:
     1. Kabinet Kerja
Pada tanggal 10 Juli 1959, dibentuklah Kabinet Kerja dengan Presiden Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir. Djuanda sebagai wakil perdana menteri. Dalam pembentukan kabinet ini, dibuat peraturan bahwa menteri-menteri tidak boleh terikat dengan partai untuk menekankan sifat non-partai dalam pemerintahan yang baru.
Adapun program kerja Kabinet Kerja ini sebagai berikut:
  • Melengkapi sandang pangan rakyat
  • Menyelanggarakan keamanan rakyat dan negara
  • Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan politik (terutama di Irian Barat)
     2. MPRS
Dalam dekrit 5 Juli 1959, ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. MPRS merupakan pengganti Dewan Konsituante yang telah bubar. Berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959, anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Soekarno. Selain itu mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :

  •      Setuju kembali kepada UUD 1945
  •      Setuju pada perjuangan Republik Indonesia
  •      Setuju dengan Manifesto Politik
MPRS ini memiliki tugas untuk menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
     3. DPAS
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959. DPAS bertugas memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
     4. DPR Hasil Pemilu 1955 Tetap
DPR hasil pemilu I tahun 1955 yang dibentuk tetap menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 1945. DPR tersebut harus menyetujui perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah sampai DPR baru tersusun.
Sementara itu, pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno berpidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut berisi penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijaksanaan Presiden Soekarno dalam mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin.
DPAS dalam sidangnya bulan September 1959, mengusulkan kepada pemerintah agar pidato tersebut dijadikan GBHN dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL). Presiden Soekarno menerimanya dan akhirnya pada sidang tahun 1960, MPRS dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan MANIPOL menjadi GBHN.
Pada tanggal 5 Maret 1960, DPR hasil pemilu I dibubarkan oleh presiden karena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang dianjurkan oleh pemerintah. Tidak lama kemudian dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) untuk menggantikan posisi DPR dengan anggota-anggotanya yang dipilih presiden Soekarno. Kedudukan DPR-GR ini adalah pembantu presiden/ mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga pada presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS. Tugas dari DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL, merealisasi Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), dan melaksanakan demokrasi terpimpin.
Ketetapan tersebut menimbulkan reaksi dari kalangan partai-partai tertentu yang menyatakan keberatan akan pembubaran DPR hasil pemilu 1955. Pada Maret 1960 beberapa partai mendirikan Liga Demokrasi. Namun kelompok itu tidak berjalan dengan baik karena ketidaksamaan pendapat antara tokoh-tokoh partai tersebut.
Untuk menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno membentuk lembaga Front Nasional dan MPPR. Front Nasional adalah organisasi yang diketuai oleh Presiden Soekarno dan betujuan untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Sedangkan MPPR adalah organisasi yang bertugas membantu presiden dalam mengambul kebijakan khusus dan darurat dalam menyelesaikan revolusi.
Di antara partai-partai politik lainnya, PKI memiliki kedudukan istimewa. Di bawah pimpinan D.N. Aidit, PKI berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang menerima Pancasila sebagai dasar negara RI selama periode demokrasi liberal dan terpimpin. Hal ini hanya merupakan taktik dari PKI untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia karena sebenarnya PKI bertentangan dan menolak Pancasila sebagai dasar negara. Kekuatan politik Indonesia pada waktu itu berpusat pada tangan Presiden Soekarno, TNI AD, dan PKI.
NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis) yang awalnya dimaksudkan untuk merangkul kekuatan politik yang terus bersaing sejak demokrasi liberal, ternyata menguntungkan PKI. Kedudukan PKI semakin kuat dan penghargaan pemerintah terhadapnya pun meningkat. Dalam perkembangan selanjutnya, MANIPOL ditetapkan sebagai satu-satunya doktrin revolusi Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai dasar negara mulai dilupakan dan situasi tersebut justru dimanfaatkan oleh PKI untuk semakin mengecilkan arti Pancasila.
Selain itu, pada masa Demokrasi Terpimpin banyak kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menyimpang dari UUD 1945, di antaranya adalah :
  • Pada demokrasi terpimpin, terlihat bahwa Presiden Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak. Sedangkan dalam UUD 1945, tercantum bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang dalam hal ini dipimpin oleh MPR.
  • UUD 1945 pasal 6 ayat 2 berbunyi : “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawarakatan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Namun pada masa demokrasi terpimpin, berdasarkan Penpres no. 2 tahun 1959, Anggota MPRS dipilih dan diangkat oleh Presiden. Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR. Dengan demikian lembaga legislatif berada di bawah kekuasaan Presiden.
  • Ketua MA dan Jaksa Agung diangkat menjadi menteri. Padahal kedua jabatan tersebut menurut Trias Politica, harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian lembaga legislatif dan yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden.
  • Menurut UUD 1945 pasal 7 : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Sedangkan sidang umum MPRS 1963 menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan tersebut jelas sudah melanggar UUD 1945. 

 2.3.4. Kehidupan Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer
        Meskipun Indonesia telah merdeka, namun kondisi keuangan Indonesia masih amat sangat memperihatinkan. Oleh karena itu berbagai macam upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menstabilkan keadaan ekonomi Indonesia.
      Perubahan kehidupan ekonomi pada masa Demokrasi Parlementer paling terlihat pada masa Kabinet Sukiman, Kabinet Ali 1 dan Kabinet Ali 2. Perubahan ekonomi ini dipelopori oleh Kabinet Sukiman, dimana pada masanya pemerintah melakukan proses nasionalisasi ekonomi
   Proses Nasionalisasi Ekonomi pertama menyangkut 3 bidang utama, yaitu :


  •  Membentuk Bank Negara Indonesia sebagai bank nasional pertama di Indonesia pada tanggal 5 Juli 1946. Hal ini dikukuhkan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/1946.
  • Melaksanakan Nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) yang berfungsi sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi, dimana sumber perputaran uang Negara diatur oleh Bank ini. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang No. 24/1951, UU No, 11/1953, dan Lembaga Negara No. 40
  • Dan menukar mata uang Jepang ke Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pada 1 Oktober 1946 dan diperkuat dengan adanya Undang-Undang No. 17 / 1946 dan Undang-Undang No. 19/1946.

Karena tindakan tersebut, kondisi perekonomian Indonesia mulai membaik. Namun proses nasionalisasi ini tidak berjalan mulus sesuai harapan karena banyaknya konflik antar kubu-kubu/ kelompok-kelompok yang terdapat didalam tubuh konstituante dan parlemen. Hal ini terjadi karena banyaknya perbedaan pendapat yang tidak dapat dijembatani. 
Perubahan perekonomian juga terjadi pada masa Kabinet I & II. Pada masa Kabinet Ali 1, pemerintah lebih menekankan dan mendukung perkembangan para pengusaha pribumi. Program ini disebut Program Benteng. Hal ini ditekankan supaya para pengusaha dan produk-produk hasil pekerjaan mereka tidak kalah dengan produk luaran bermerek lainnya, sehingga otomatis sasaran konsumen , yaitu orang dalam negeri bisa lebih mencintai produk sendiri dan membeli produk sendiri. Karena dengan hal itu, maka kreativitas dan perekonomian negara bisa semakin maju. 
Kemudian pada masa Kabinet Ali II, Presiden Soekarno mendatangani UU pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga asset-aset modal yang dimiliki pengusaha Belanda pindah ke tangan para pengusaha pribumi. Namun sayang para pengusaha pribumi belum dapat mengambil alih asset-aset ini seutuhnya. Pada saat itu, Indonesia juga sangat menentang prinsip individualisme, persaingan bebas dan adanya perusahaan swasta dari luar negeri. Oleh karena itu Indonesia semakin sulit untuk mendapat pinjaman dari luar negeri, khususnya negara Barat. Padahal Indonesia sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan negara. 

2.3.4. Kehidupan Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer 

    Sebenarnya perkembangan kehidupan perekonomian Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin merupakan mengembangan dari rencana pembangunan yang sudah disusun pada masa sebelumnya yaitu Demokrasi Parlementer. Namun prinsipnya pemerintah ingin mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang berbanding terbalik dengan Demokrasi Parlementer.  Sistem ini dilaksanakan karena ketidakmerataan keadaan ekonomi rakyat Indonesia. Jika dalam sistem ekonomi kapitalis siklus ekonomi sepenuhnya dipegang oleh mekanisme pasar, maka dalam sistem ekonomi sosialis pemerintahlah yang memegang kendali siklus ekonomi yang ada. Dalam pelaksanaannya, kebijakan ekonomi terpimpin berubah nama menjadi “Sistem Lisensi” dimana hanya orang-orang yang mendapat lisensi atau izin khusus dari pemerintah yang dapat melaksanakan perekonomian, terutama impor.
          Pada masa cabinet Djuanda di tahun 1958, pemerintah membuat sebuah undang-undang perencanaan untuk membentuk badan perekonomian yang bertugas untuk meningkatkan taraf ekonomi bangsa. Badan ini bernama Dewan Perancang Nasional. Tugas pokoknya adalah :
  •  Mempersiapkan rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Indonesia yang berencana dan bertahap.
  •  Mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan tersebut
         Tugas dan bidang kerja dewan tersebut ditetapkan secara tegas dalam Undang-Undang No. 80/1958, 19 Januari 1958, serta Peraturan Pemerintah No. 2/1958.  Kemudian baru berjalan pada tahun 1959 karena pembentukkan baru saja selesai.
      Namun pada tahun 1959, Indonesia mengalami inflasi yang sangat tinggi. Akhirnya pemerintah melakukan berbagai langkah sebagai berikut
  •  Devaluasi (penurunan nilai uang) dari Rp 1.000,00 dan Rp500,00 menjadi Rp 100,00 dan Rp 50,00. Peraturan ini berlaku mulai tanggal 25 Agustus 1959.
  • Pembekuan terhadap semua simpanan di bank yang melebih Rp 25.000,00. Namun hal ini tidak berhasil mengatasi kesulitan ekonomi
  •  Dikeluarkannya Deklarasi Ekonomi (DEKON) oleh Soekarno pada tanggal 23 MAret 1963 yang mengatur tentang ekspor-impor dan masalah penetapan harga. Peraturan ini berisi 14 peraturan pokok. Hal ini berhubungan dengan keinginan Soekarno untuk menciptakan kehidupan ekonomi masyarakat sosialis. Namun seiring berjalannya waktu, malah terjadi stagnasi pada perekonomian Indonesia. Stagnasi adalah pertumbuhan ekonomi berjalan lambat (biasanya diukur berdasarkan pertumbuhan GDP) pada suatu periode tertentu. Beberapa pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "lambat" di sini adalah angka pertumbuhan ekonomi lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi potensial yang diprediksi oleh ahli makroekonomi. Ada juga menyebutkan bahwa stagnasi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi kurang dari 2-3% per tahun. Terlihat juga dari harga barang-barang yang naik sampai 400% pada 1961-1962
     Karena krisis-krisis ekonomi yang terjadi pada Indonesia, pemerintah akhirnya membuat Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Panitia itu bertanggung jawab untuk menindak lanjuti dampak-dampak pelaksanaan kebijakan moneter yang ada. Pemerintah juga melakukan pengetatan terhadap anggaran belanja negara, serta mengawasi kinerja manajemen dan administrasi yang dijalankan oleh perusahaan swasta. Tujuannya agar aliran dana kredit rupiah dapat mengalir lancer serta dapat membiayai usaha yang signifikan bagi kehidupan Indonesia. Hal ini cukup efektif selama 4 bulan kondisi perekonomian Indonesia sudah mulai membaik. Tapi pada Desember 1959 kondisi ekonomi Indonesia mulai menurun lagi. Kegagalan ini disebabkan pemerintah yang tidak dapat atau tidak mau menahan diri dalam melakukan pengeluaran dana.
      Kemunduran perekonomian Indonesia Nampak bertambah parah dari munculnya proyek mercusuar Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan CONEFO (Conference of the New EmergingForces) pada sekitar tahun 1962 yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya. Sehingga inflasi semakin bertambah tinggi, harga barang-barang melonjak drastis, ditambah lagi Indonesia pada tahun1961 secara terus menerus harus membiayai kekurangan neraca pembayaran dari cadanganemas dan devisa, ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa, padatahun 1965 cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat. Juga IMF(International Monetery  Fund) tidak jadi memberikan paket pinjaman uang pada Indonesia akibat konflik dengan Malaysia dan Singapura.
Dan pemerintah memperparah keadaan ini dengan melakukan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang-matang sehingga nilai peredaran uang rupiah semakin meninggi dan meperberat inflasi yang sudah menyusahkan rakyat.
   Selanjutnya pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional berubah menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (BAPPENAS) . Dengan dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno, badan ini mempunyai tugas untuk menyusun rencana perekonomian dan moneter jangka panjang tahunan baik dalam taraf nasional maupun daerah., mengawasi kinerja pelaksanaan pembangunan, serta mempersiapkan dan menilai mandataris untuk MPRS.
       Selain membentuk Bappenas, pemerintah juga menangani krisis moneter dengan mengeluarkan berbagai kebijakan perekonomian dalam bentuk Penetapan Presiden, antara lain :
  • Penetapan Presiden No. 7/1965 yang menetapkan pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menyediakan wadah bagi arus perputaran sirkulasi antar bank, baik itu bank sentral maupun umum
  • Penetapan Presiden RI No. 27/1965, 13 Desember 1965 tentang pengeluaran uang baru yang nilainya 1000 kali dari uang rupiah lama. Kebijakan ini mengakibatkan kemunduran ekonomi lagi karena nilai rupiah lama dan baru memiliki perbandingan 1:10 dan jumalh pengeluaran pemerintah ikut meningkat dari Rp 3 miliar menjadi 30 milliar. Angka yang tidak sedikit tentunya.
     Kebijakan-kebijakan perekonomian yang dijalankan pada masa ini memiliki pertentangan dengan kebijakan dan peraturan Presiden, sehingga terdapat tumpang tindih antara kebijakan yang didasari UU dan kebijakan presiden. Hal ini disebabkan karena Presiden berwenang dalam membuat peraturan lain yang setingkat dengan UU. Pada masa ini presiden terlihat seperti tuhannya negara Indonesia yang bisa melakukan apa saja yang akhirnya malah membuat kondisi Indonesia memburuk, terutama pada bidang ekonomi Konstribusi pemerintah dalam usaha-usaha untuk membangun perekonomian dapat dikatakan "gagal" pada periode Demokrasi Terpimpin (1957-1965) karena semestinya pembangunan dipahami tidak hanya sebagai pertumbuhan ekonomi atau pembangunan fisik saja, melainkan seharusnya mewujudkan kesejahteraan yang layak, keadilan sosial dan keseimbangan ekologis. Di sisi lain, penulis melihat pemerintahan Soekarno ini lebih memilih untuk mendahulukan proses politik daripada proses ekonomi sehingga sisi perekonomian merupakan kegagalan besar dalam Demokrasi Terpimpin ini. Kondisi perekonomian Indonesia terlihat semakin mundur sampai tahun 1966.





Sunday, March 24, 2013

Bab I. Pendahuluan

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 


Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat. Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat" yang terbentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan." Aristoteles merupakan orang pertama yang memperkenalkan istilah demokrasi yang merujuk pada suatu bentuk sistem pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat.  Sedangkan, Abraham Lincoln yang adalah Presiden Amerika Serikat ke-16 mendefinisikan demokrasi sebagai “the government from the people, by the people, and for the people,” yaitu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pernyataan Abraham Lincoln menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi dan mempunyai hak yang sama dalam mengatur kebijakan pemerintahan sehingga keputusan yang diambil melalui demokrasi harus berdasarkan suara terbanyak. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih. Menurut International Conference of Jurists (Bangkok, 1965),negara dinyatakan negara demokrasi jika mempunyai ciri-ciri adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik secara langsung maupun melalui perwakilan, adanya pengakuan dan perlindungan secara konstitusional terhadap hak-hak warga negara, adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara, adanya badan peradilan yang bebas dan tidak memihak , adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara terutama bebas menyampaikan pendapat dan berorganisasi, adanya media massa yang bebas menyampaikan informasi, adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil, dan adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan.
Bangsa Indonesia pernah menerapkan tiga model demokrasi yang memiliki karakteristik tersendiri, yaitu demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila. Demokrasi sekarang ini telah dipelopori oleh organisasi-organisasi modern. Macam-macam demokrasi di Indonesia ada lima, yaitu demokrasi kerakyatan pada masa revolusi, demokratisasi dalam demokrasi parlementer, demokratisasi dalam demokrasi terpimpin, demokratisasi dalam demokrasi Pancasila, dan rekonstruksi demokrasi dalam orde reformasi. 
Setiap model demokrasi memiliki karakterisitik serta pengaruh yang ditimbulkannya masing-masing. Seperti pada masa demokrasi perlementer, terjadi kegagalan konstituante dalam menyusun UUD baru. Selain itu, juga dapat dibandingkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah dalam kehidupan politik dan ekonomi pada masa pemerintahan parlementer dan terpimpin.



1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa perbedaan antara sistem dan struktur politik pada masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin?
2. Apa penyebab dari kegagalan penyusunan UUD baru?
3. Apa perbedaan antara sistem kehidupan ekonomi masyarakat pada masa  demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin?



1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui perbedaan antara sistem dan struktur politik pada     masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dalam penyusunan UUD baru.
3. Mengetahui perbedaan antara sistem kehidupan ekonomi masyarakat pada masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.



1.4. Manfaat Penulisan

Penulis menulis makalah ini tentunya berharap bahwa makalah ini dapat memberi manfaat bagi masing-masing pihak dan memperluas pengetahuan mengenai demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin di Indonesia.


1.5. Metode Penulisan 

Penulis menggunakan metode observasi dan kepustakaan. Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah melalui studi pustaka, membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah ini, dan mencari berbagai informasi melalui media internet.